TIDORE — Sidang putusan praperadilan yang diajukan oleh 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, melawan Polda Maluku Utara dan Polsek Maba Selatan berakhir dengan hasil yang memicu kritik keras. Dinyatakan sebagai tersangka atas tuduhan pemerasan dan pelanggaran UU Darurat serta UU Minerba, warga yang mempertahankan tanah adat mereka justru harus mendekam di penjara, sementara aparat penegak hukum dinilai menjalankan proses yang cacat prosedur.

Kuasa hukum Suarez Yanto Yunus menyebut putusan Pengadilan Negeri Soasio Tidore pada 16 Juni 2025 sebagai “cacat keadilan” dan mengandung banyak kejanggalan hukum yang tidak bisa diabaikan. Dari lima permohonan praperadilan yang diajukan, hanya tiga yang dikabulkan sebagian, dan itupun sebatas menyatakan penangkapan tidak sah — sementara penetapan tersangka tetap dianggap sah.

“Ini absurd. Penangkapan dinyatakan tidak sah, tapi penetapan tersangka sah? Lalu dasar hukum penetapan itu apa kalau penangkapan saja cacat?” kecam Suarez, dalam keterangannya pada Selasa (17/6/2025).

Lebih parah lagi, permohonan utama dalam perkara Nomor 01/Pid.Pra/2025/PN Sos atas nama Jamaludin Badi dan kawan-kawan ditolak hanya karena alasan kompetensi relatif pengadilan. Menurut Suarez, dalih ini mengada-ada karena dalam jawaban tertulisnya, Polda Malut selaku termohon tidak pernah mengajukan eksepsi tentang kewenangan pengadilan.

“Kalau termohon saja tidak keberatan, kenapa hakim tiba-tiba memutuskan itu? Ini pelanggaran prinsip dasar hukum acara. Hakim tidak boleh memutus sesuatu yang tidak diminta. Itu namanya ultra petita dan seharusnya tidak terjadi di ruang sidang yang beradab,” tegas Suarez.

Ia menambahkan, proses penangkapan dan penyidikan terhadap 11 warga sangat janggal dan dilakukan secara tergesa-gesa. “Dalam persidangan terbukti prosedurnya tidak lazim, penyidikan dilakukan secepat kilat, formalitas hukum diabaikan. Tapi semua itu tak dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim,” katanya.

Suarez menuding hakim dalam perkara ini telah gagal memahami konteks perjuangan warga. “Mereka bukan pencuri uang negara. Mereka bukan penjahat. Mereka hanya mempertahankan hutan dan tanah adat dari penggusuran perusahaan tambang PT Position,” ujarnya geram.

Ia menyebut apa yang dilakukan 11 warga Maba Sangaji semestinya mendapat perlindungan hukum berdasarkan prinsip Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) — prinsip hukum yang menjamin warga tidak bisa dipidanakan karena memperjuangkan lingkungan dan kepentingan publik.

“Tanah mereka digusur, sungai rusak, hutan adat hilang. Kini mereka malah dipenjara karena membela hak hidupnya. Ini bukan penegakan hukum. Ini pembungkaman,” tegasnya.

Dampaknya pun sangat nyata. Para tersangka yang saat ini ditahan adalah tulang punggung keluarga. “Ada anak-anak yang ditinggalkan, istri dan orang tua yang tak tahu harus makan apa besok. Ini derita sosial yang tak akan dibayar oleh pasal-pasal karet,” kata Suarez.

Tim kuasa hukum berencana membawa kasus ini ke level yang lebih tinggi. YLBHI Jakarta yang turut hadir dalam sidang telah menyatakan akan melaporkan hakim ke Komisi Yudisial dan Bawas Mahkamah Agung karena dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melanggar etika profesi.

“Kami juga tengah menyiapkan pembelaan untuk sidang pokok perkara. Kami akan hadirkan ahli hukum pidana, hukum adat, dan hukum lingkungan. Dan kami berharap bertemu dengan hakim-hakim yang masih bersih, yang masih percaya bahwa hukum adalah alat keadilan, bukan alat represi,” ujar Suarez.