HALMAHERA SELATAN — Desa Batulak di Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, menyimpan sejarah panjang dan nilai budaya yang tinggi. Dahulu kala, wilayah ini dihuni oleh kelompok etnis Tobelo dan Galela yang menjalani hidup secara berpindah-pindah dan individual. Namun, pada tahun 1913, mulai terlihat perubahan cara hidup masyarakat menjadi lebih menetap dan berkelompok di bawah kepemimpinan Kepala Suku pertama bernama Seho.
Setahun kemudian, seorang musafir bernama Abdul Jamal bin Jauhar dari Jazirah Sali datang bersama keluarganya serta warga eksodus dari Pulau Makian dan Kayoa. Mereka membentuk sebuah perkampungan yang kemudian dinamakan “Batulak”, gabungan dari kata “Batu” dan “Tulak” (tongkat dalam bahasa Makian). Nama ini berakar dari kisah penetapan batas wilayah antara Kesultanan Ternate dan Tidore, yang ditandai dengan penancapan tongkat di sebuah batu besar di tanjung desa. Batu yang berlubang akibat tancapan tongkat tersebut kini dikenal sebagai “Batu Lubang” atau “Mafu Tuso”, menjadi saksi sejarah sekaligus patok batas administratif antara Halmahera Selatan dan Tidore Kepulauan.
Sejak didirikan pada 1914, Desa Batulak telah dipimpin oleh sejumlah tokoh, di antaranya Abdul Jamal bin Jauhar (1914–1945), Adam Imam (1946–1952), Hi. Abdul Kadir Muhammad (1953–1968), hingga kepala desa ke-13, Irhandi Suhada, yang menjabat sejak 2017 hasil pemilihan kepala desa serentak.
Kini, Desa Batulak memiliki luas wilayah 89,1 km² dengan ketinggian 1 meter di atas permukaan laut dan terletak di wilayah pesisir dan lereng hutan. Desa ini terdiri dari tiga dusun, memiliki satu sekolah dasar dengan 85 siswa dan lima guru, satu pustu, satu posyandu, serta satu masjid. Menurut data BPS tahun 2017, jumlah penduduk desa sebanyak 622 jiwa dengan 117 keluarga menggunakan listrik dari PLN. Sumber air utama berasal dari sumur.
Dari sisi perekonomian, masyarakat mengandalkan hasil perkebunan seperti kopra (2,94 ton), cengkeh (2 ton), pala (1 ton), dan kakao (1 ton). Desa juga memiliki satu industri kayu dan empat warung kelontong. Transportasi utama menggunakan kapal motor seperti KM Makaeling yang menempuh perjalanan laut sekitar 8 jam, serta jalur darat yang memakan waktu 7 jam dari Sofifi, meski beberapa akses jalan dilaporkan rusak parah, terutama di jalur melalui Desa Nuku.
Desa Batulak tidak hanya menyimpan sejarah budaya yang kaya, tetapi juga menjadi simbol perpaduan budaya dan perkembangan masyarakat pesisir yang terus tumbuh di tengah tantangan infrastruktur dan aksesibilitas.
Reporter: Lucky Syah
Tinggalkan Balasan