-
Oleh: Badrun Ahmad
Dosen Universitas Khairun
Belakangan ini, kerusakan lingkungan di kawasan Raja Ampat menjadi sorotan nasional dan bahkan internasional. Keindahan alam yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa dan daya tarik utama wisatawan domestik maupun mancanegara, kini terancam oleh ekspansi aktivitas pertambangan yang kian masif.
Viral di media sosial dan pemberitaan daring maupun cetak, fenomena ini menjadi simbol dari konflik laten antara kepentingan ekonomi sesaat dan kelestarian lingkungan jangka panjang. Namun, perlu disadari bahwa ancaman serupa juga sedang mengintai wilayah lain di timur Indonesia—salah satunya adalah Maluku Utara.
Di balik tenangnya ombak dan eloknya panorama, Maluku Utara menyimpan kekayaan wisata yang belum sepenuhnya tereksplorasi publik, namun kini juga tengah menghadapi ancaman nyata dari aktivitas ekstraktif. Salah satu contohnya adalah Pulau Gebe dan kawasan Talaga Yoi, yang secara geografis berada di sekitar gugusan kepulauan Raja Ampat.
Pulau Gebe diketahui memiliki cadangan nikel yang sangat besar. Sejak dekade 1990-an, wilayah ini menjadi target eksplorasi dan eksploitasi mineral, yang kini semakin masif dan merambah ke berbagai area.
Ironisnya, sebagian besar wilayah Pulau Gebe telah menjadi konsesi tambang. Nikel dari Gebe diproses di smelter-smelter lokal, termasuk di Weda, dan aktivitas ini berdampak langsung terhadap lingkungan sekitarnya.
Dampak ekologis dari pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Gebe dan Talaga Yoi tidak bisa dianggap remeh. Air asam tambang yang mengalir ke laut membawa serta logam berat yang mencemari ekosistem pesisir dan laut.
Proses ini diperparah oleh deforestasi dan erosi tanah akibat pembabatan hutan dan penggalian tambang. Kerusakan terumbu karang, pencemaran perairan, serta hilangnya kejernihan dan kesuburan laut menjadi konsekuensi yang sulit untuk dibendung.
Logam berat yang terbawa air hujan akan mengendap di pasir putih dan dasar laut, mengubah keindahan alam menjadi bom waktu pencemaran. Fenomena bioakumulasi logam berat pada ikan, karang, dan rumput laut bukan hanya mengancam biodiversitas, tetapi juga membahayakan manusia yang mengonsumsi hasil laut dari perairan ini.
Ancaman yang tak kalah serius datang dari udara. Proses smelting di smelter menggunakan batubara sebagai sumber energi utama. Emisi dari pembakaran ini menghasilkan polutan udara, termasuk senyawa sulfur dioksida dan nitrogen oksida yang bersifat toksik dan menjadi prekursor hujan asam. Uap polutan ini kemudian ikut dalam siklus hidrologi dan jatuh ke bumi sebagai hujan asam, meresap ke dalam tanah, menurunkan kesuburannya, dan mengganggu keseimbangan ekosistem darat.
Tanaman yang tumbuh di kawasan ini menyerap logam berat dari tanah, yang kemudian berakumulasi dalam jaringan tumbuhan. Ini adalah ancaman laten terhadap kesehatan manusia dan hewan yang mengandalkan tumbuhan sebagai bahan makanan.
Tak hanya wilayah pesisir, kawasan daratan seperti Geopark Gua Boki Maruru di Halmahera Tengah juga menghadapi tekanan berat dari industri tambang. Gua ini memiliki aliran sungai bawah tanah terpanjang di Indonesia, sebagaimana dicatat oleh ekspedisi peneliti Prancis pada 1988.
Selain menyimpan nilai ilmiah dan estetika tinggi, gua ini juga menjadi destinasi wisata unggulan Maluku Utara. Namun, wilayah di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea yang melintasi gua tersebut kini mengalami degradasi lingkungan. Air sungai yang sebelumnya jernih kini keruh akibat sedimentasi dan erosi yang bersumber dari pembukaan lahan tambang.
Studi lingkungan telah menunjukkan bahwa parameter fisik dan kimia air di kawasan ini telah melewati ambang batas baku mutu yang ditetapkan dalam peraturan lingkungan hidup.
Situasi ini sungguh mengkhawatirkan. Air yang tampak bersih belum tentu aman. Kandungan logam berat seperti merkuri, timbal, dan arsenik bisa tersembunyi di dalamnya, dan dampaknya terhadap tubuh manusia bersifat kronis. Artinya, gejala gangguan kesehatan bisa baru dirasakan setelah 10 hingga 20 tahun kemudian.
Sungai, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan dan tempat rekreasi, justru berubah menjadi jalur distribusi racun yang perlahan menggerogoti kehidupan manusia dan biodiversitas lokal.
Keindahan alam bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga warisan ekologi yang harus dijaga bersama. Saat tempat-tempat wisata tercemar, bukan hanya sektor pariwisata yang runtuh, tetapi juga kualitas hidup masyarakat lokal yang terdampak secara langsung.
Kita perlu bertanya: di mana lagi kita bisa berlibur dan menyegarkan pikiran jika semua destinasi telah dirusak oleh keserakahan jangka pendek? Sudah saatnya kita bersikap—menyuarakan kepedulian, mendesak penegakan hukum lingkungan yang tegas, dan memilih arah pembangunan yang berkelanjutan. Karena ketika alam telah rusak, tak ada tambang emas yang bisa menggantikan udara segar dan laut biru yang dulu kita banggakan.
Tinggalkan Balasan